Oleh H. Zainal Abidin SE
(Anggota Dewan Kehormatan AMPHURl)
BERHAJI secara ilegal atau tanpa menggunakan visa haji masih marak di Tanah Suci. Bahkan banyak di antara mereka merupakan muslim asal Indonesia. Sebagian malah pesohor, alias sosok yang sudah terkenal di mata publik.
Akhirnya mereka pun terkena razia aparat keamanan Arab Saudi dan dikenai sanksi. Termasuk deportasi, ditahan, dan larangan masuk ke Arab Saudi dalam kurun waktu tertentu. Di antara mereka, ada selebgram yang membawa jamaah visa nonhaji.
Padahal sebelumnya Pemerintah Arab Saudi sudah wanti-wanti bahwa berhaji tanpa visa haji dilarang. Malah ada fatwa hukumnya haram. Tapi mengapa masih ada saja yang berhaji dengan yang dilarang ini?
Maraknya berita tentang haji memakai visa ziarah yang terkena razia aparat keamanan adalah fenomena yang kerap terjadi setiap musim haji. Selalu berulang.
Tapi ini ternyata tidaklah menjadi pembelajaran bagi masyarakat Indonesia. Hal ini juga terjadi pada masyarakat muslim di berbagai negara seperti Malaysia hingga Mesir. Kadang terjadi pada orang yang sama. Karena ingin berhaji berkali-kali, lalu jalan pintas yang penuh risiko pun mereka tempuh.
Ada yang memang berhasil tapi tidak sedikit yang gagal. Yang gagal berhaji ini cukup dengan ungkapan "sedang apes". Sebab biasanya mereka bisa lolos dari razia petugas.
Akan tetapi bagi orang awam, yang biasanya akibat terkena bujuk rayu atau iming-iming oknum tertentu, justru mereka kaget setelah tiba di Makkah. Mengapa?
Ya, karena mereka ternyata harus sembunyi-sembunyi. Kucing-kucingan. Menghindari petugas. Misalnya dilarang keluar hotel. Bahkan tidak berani ke Masjidil Haram. Sehingga mereka pun baru sadar kalau sudah salah memilih jalan, karena terbatasnya informasi dan pengetahuan tentang keimigrasian dalam melakukan perjalan ke luar negeri. Masuk negeri orang.
Apalagi tentang perjalanan ibadah haji. Di mana jutaan orang dari seluruh dunia berdatangan ke satu negeri: Arab Saudi. Satu titik di Padang Arafah. Pada momen yang juga sudah ditentukan waktunya.
Maka, jutaan orang itu akan berebut menjadi bagian dari ritual haji di momen tersebut. Sebuah momen yang tentu rawan terjadi musibah gesekan antar-jamaah, sehingga otoritas Saudi pun melakukan pengaturan. Ada pembatasan jumlah jamaah. Istilahnya kuota jamaah haji.
Nah mereka yang masuk kuota ini berhaji memakai visa haji. Namun ada pula yang harus ikhlas antre menunggu giliran. Masuk daftar tunggu. Waiting list.
Namun ada yang bernafsu ingin berhaji tanpa antre. Mereka ini kemudian menjadi sasaran empuk oknum yang mengaku bisa memfasilitasi haji tanpa antre. Memakai visa nonhaji. Paket haji tanpa antre ini marak ditawarkan oleh pemain jalan pintas yang dianggap pantas itu.
Di sisi lain sering kita jumpai masyarakat yang senang dengan informasi yang sesuai dengan harapannya, walaupun info itu tidak rasional alias tipu-tipu. Misalnya solusi berhaji tanpa antre, murah lagi. Daripada harus menunggu puluhan tahun bagi reguler atau 7 tahun bagi haji khusus.
Maka cepat dan murah menjadi daya tarik. Padahal di balik itu semua tidak secara transparan disampaikan ke calon jamaah karena jalan tersebut adalah ilegal, yang penuh dengan jalan berliku yang sengsaranya tidak membawa nikmat. Sebab, mereka sengsara sungguhan, mengingat selama di Tanah Suci memang tidak tenang, tidak aman, dan tentu saja tidak nyaman.
Jauh panggang dari api, alias tidak sesuai dengan penjelasan oknum yang mengaku bisa berhaji tanpa antre tadi. Kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan harapan jamaah. Tapi yang mengherankan, model penawaran semacam ini langsung bisa diterima masyarakat. Langsung deal. Tentu ini karena masyarakat masih belum banyak tahu tentang modus tipu-tipu haji tanpa antre tersebut.
Yang perlu dipahami juga, maraknya visa ziarah dalam berhaji juga telah menerabas asas kemaslahatan bagi jamaah haji resmi yang legal. Kondisi ini membuat bermacam atribut dikalungkan dan digelangkan pada para hujjaj yang legal. Ada gelang dari Kemenag, ada gelang dari maktab, ada berbagai kalung dan smart card dari Maktab yang menjadi pemandangan yang cukup "ribet". Tapi apa boleh buat. Ini agar jadi pembeda dan haruslah dipakai saat jamaah keluar kamar hotel.
Semoga para pemangku kepentingan bisa menertibkan sejak di hulunya. Sejak di Tanah Air. Membatasi ruang gerak para oknum yang suka jalan pintas untuk mengeruk untung tak pantas tersebut.
Caranya, dengan mewaspadai mulai dari hulu berupa iklan yang bersebaran di.media sosial atau medsos. Iklan ini adalah awal dari pelanggaran yang harusnya sudah diberikan kartu kuning bahkan kartu merah oleh otoritas perhajian di Indonesia. Harus cepat ditindak tegas.
Karena pembiaran terhadap iklan semacam itu, masyarakat berkesimpulan itu adalah produk legal. Jadi, pembiaran iklan dan promosi seperti itu tanpa disadari, mereka yang berwenang pun turut berperan meski pasif mengingat aktivitas para oknum itu dibiarkan padahal pengiklan haji tanpa antre itu biangnya.
Hulu perhajian ini banyak dinilai ada semacam pasar gelap. Sebagian PPIU / PIHK, ada juga yang bermain di area terlarang itu. Bahkan Dirjen PHU dalam wawancaranya yang tersebar di Medsos punya data dari intelijen Kemenag tentang penjualan visa ziarah dan sejenisnya. Tapi mengapa pelakunya tidak segera diberi sanksi?
Semoga saja segera ada tindakan nyata di hulu ini. Sebab mereka pelaku utamanya. Bila tidak diberantas sama artinya membiarkan masyarakat menjadi korban penipuan berkedok ibadah haji. Semoga saja tidak terjadi lagi. (*)