Oleh Imam Shamsi Ali*
PAGI ini saya berbahagia sekali. Semua di luar rencana dan dugaan. Kami dipertemukan dengan guru-guru yang mulia. Ada Ustadz Fakhrul Razi, Ustadz Abi Makii, dan beberapa ustadz lainnya. Yang teristimewa pula kami semua berkumpul membersamai Tuan Guru, Prof. Dr. Abdul Somad, Allahu yahfazhuhum jami’an.
Keluar dari pintu 339 Masjid Nabawi menuju Hotel Daar al- Eman, saya tiba-tiba merasa ada kelainan. Beberapa tokoh sangat identik dengan Amerika. Ada H&M, ada Dunkin Donat, dan yang paling mencolok persis di samping Masjid Nabawi ada Starbucks. Baik Starbucks maupun DD (Dunkin Donat) keduanya masuk dalam list perusahaan yang diboikot oleh umat dan aktifis kemanusiaan akibat genosida di Gaza. Kenyataannya kedua restoran di kota Nabi itu sangat ramai.
Ketika saya melewati kedai Starbucks itu saya diingatkan sebuah peristiwa puluhan tahun yang lalu di tempat yang sama. Ketika itu saya melaksanakan ibadah haji bersama rombongan Haji dari Amerika. Masih ingat di baju kami bertuliskan “Pilgrims of New York, USA”. Walau saya dan beberapa orang adalah warga Indonesia namun tanda pengenal kami adalah “Haji Amerika.”
Di suatu sore selepas Ashar saya duduk di bagian luar Masjid Nabawi. Saya tiba-tiba didekati oleh seseorang yang nampaknya orang Saudi. “Amriki? Amriki?” (Anda orang Amerika?)" tanyanya. Karena tanda pengenal saya memang Amerika (USA), saya jawab “yes I am” (benar saya orang Amerika).
Tiba-tiba dengan wajah sinis berkata: “Amerika is not good.. Amerika is shaiton” (Amerika itu buruk. Amerika itu syetan).
Saya tidak bermaksud membela Amerika. Sebab saya sadar Amerika memang syetan ketika sudah bersentuhan dengan kebijakan luar negeri, khususnya di Timur Tengah. Tapi secara tiba-tiba saya merasa tersinggung. Sebab bagaimana pun saya juga bagian dari Amerika. Minimal saat itu saya memakai baju dengan pengenal “USA”. Menandakan bahwa Amerika juga ada Muslim. Amerika tidak semua jahat dan syetan.
Karenanya saya tanya: “Where are you from?” (Anda dari mana?).
Dia jawab: “ From here” (saya dari sini). Artinya dia adalah orang Saudi.
Saya secara tiba-tiba saja mengatakan (kali ini dalam bahasa Arab): هل انت من ذرية محمد ام من ذرية ابي جهل؟
Dia menatap saya tampak marah, lalu pergi.
Diam-diam saya ikuti dari belakang orang itu. Karena setelah meninggalkan Masjid dia menuju ke tempat membeli kopi Starbucks tadi. Tiba-tiba saja dia masuk ke barisan orang-orang yang sedang antrean untuk membeli kopi Starbucks.
Saya mendekat dan menunjuk ke arah kedai Starbucks dan berkata: “اسمع، هذه امريكة بل هده يهودية. وانت شاربه؟ (dengarkan, ini adalah Amerika. Bahkan ini adalah Yahudi. Tapi anda meminumnya?
Dia hanya diam dan menatap saya. Saya meninggalkannya sebelum terjadi pertengkaran yang lebih seru. Maklum dia Saudi dan telanjur merasa lebih Istimewa dari manusia lainnya di atas bumi ini.
Saya menyampaikan ini kembali karena dua hari lalu kami dan rombongan duduk-duduk di bagian luar Masjid Nabawi, sharing ilmu singkat. Tidak lebih 15-20 menit. Saya diminta oleh Mas Ippho Santosa memberikan sedikit tadzkirah kepada tim BP yang sedang umrah saat ini.
Setelah tadzkirah itu sebagaimana lazimnya orang Indonesia pasti ada foto-foto bersama. Belum selesai foto bersama kami didatangi polisi dan diinterogasi bahkan kamera diambil. Ada tiga orang yang dibawa ke kantor kepolisian. Salah satunya adalah saya sendiri.
Setiba di kantor polisi mereka sampaikan bahwa mengambil foto dengan kamera tidak diperbolehkan. Tapi mengambil gambar dengan hand phone tidak dilarang, Walau video dilarang. Sebuah informasi yang kami semua tidak tahu karena tidak ada pengumuman tentang itu.
Namun mendengar alasan pemanggilan kami itu, menjadikan saya tertawa dalam hati dan bertanya: “Apa beda antara foto dengan kamera dan HP?”. Bukankah dengan HP sebenarnya lebih cepat tersebar karena bisa langsung diupload ke media sosial?
Sambil menggerutu dalam hati, duduk di kantor polisi bak kriminal, akhirnya saya kembali tersadarkan: “Memang itulah ukuran pikiran manusia aneh”.
Ternyata setelah menunggu beberapa waktu tanpa ada pertanyaan apa-apa kecuali “wein ta’syirah” (visa Anda di mana?). Kami jawab berkali-kali bahwa visa ada di paspor dan paspor dikumpulkan oleh ketua rombongan. Tapi masih terus ditanyakan berkali-kali: وين تاشيرة؟
Ketika masalah ta’syirah (visa) selesai mereka ternyata mulai menanyakan: “من المتحدث؟" Atau siapa yang ceramah tadi?
Saya kemudian tersadarkan bahwa sebenarnya yang mereka curigai adalah ceramah singkat di Masjid tadi. Apalagi ketika kita berfoto kita mengepalkan tangan. Seolah memprotes sesuatu. Seolah menantang kekuasaan yang mena-mena.
Saya kembali merenung. Sampai beginikah alergi bahkan ketakutan mereka terhadap rakyat biasa? Sungguh kekuasaan monarki, kekuasaan absolut, bukan kekuasaan sesungguhnya. Tapi sumber ketakutan kepada semua yang bisa dianggap ancaman.
Saya lebih terkejut lagi. Pagi ini baru dapat cerita baru dari Ustadz Abdul Somad. Bahwa sebenarnya pencekalan Beliau tidak saja di Hongkong atau Eropa. Bahkan bukan saja di beberapa tempat di tanah air. Tapi juga mengalami kesulitan di saat masuk Saudi. “Saya itu setiap masuk imigrasi Saudi pasti tertahan minimal sejaman Ustadz”, kata Beliau.
Saya kembali merenung… kok bisa-bisanya ya? Seorang guru, seorang Ustadz, yang menurut saya tidak ada hal yang bisa mencurigakan. Tapi masih saja ditahan di imigrasi Saudi, negara kelahiran baginda Rasul karena kecurigaan dan kekhawatiran akan keamananan? Aneh bin ajaib, tapi nyata!
Pengalaman-pengalaman di atas menjadikan saya teringat kampung halaman saat ini, Amerika. Dengan segala syetannya, ternyata dalam hal kebebasan berekspresi Amerika jauh lebih hebat.
Special on this, I must say: “Thank you America!”.
OTW to Makkah, 3 Oktober 2024.
*Putra Kajang di kota New York.